Hukum E-Commerce Di Indonesia
Hukum e-commerce di Indonesia secara signifikan, tidak mengkover aspek transaksi yang dilakukan secara on-line (internet), akan tetapi ada beberapa hukum yang bisa menjadi pegangan, untuk melakuakan transaksi secara on-line :
Undang-undang No.8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UUD Dokumen Perusahaan ) telah mulai menjagkau kearah pembuktian data elektronik.
Pasal 1233 KUHP Perdata. Dengan isinya sebagai berikut :
“Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.berarti dengan pasal ini perjanjian dalam bentuk apapun diperbolehkan dalam hokum perdata Indonesia.
Hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan demikian para pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hokum diantara mereka.
HUKUM E-COMMERCE INTERNASIONAL
Terdapat beberapa peraturan-peraturan yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan peraturan e-commerce ,yaitu
UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce.
Peraturan ini dibuat oleh Perserikatan Bangsa Bangsa atau United Nation. Peraturan ini dapat digunakan oleh bangsa-bangsa didunia ini baik yang menganut system continental atau sistem hukum anglo saxon.
Singepore Electronic Transaction Act (ETA)
Terdapat lima hal yang perlu digaris bawahi yaitu:
Tidak ada perbedaan antara data elektronik dengan dokumen tertulis
Suatu data electronic dapat mengantikan suatu dokumen tertulis
Penjual atau pembeli atau pihak-pihak bisnis dapat melakukan kontrak secara elektronik.
Suatu data elektronik dapat menjadi alat bukti dipengadilan.
Jika data elektronik telah diterima oleh para pihak-pihak yang berkesepakatan, maka mereka harus bertindak sebagaimana kesepakatan yang terdapat pada data tersebut.
EU Direct on Electronic Commerce
Peraturan ini menjadi undang-undang pada tangal 8 juni 2000, terdapat beberapa hal yang perlu digaris bawahi yaitu
Setiap Negara-negara anggota akan memastikan bahwa sistem hukum Negara yang bersangkutan memperbolehkan kontrak dibuat dengan mengunakan sarana elektronik.
Para Negara anggota dapat pula membuat pengecualian terdapat ketentuan dalam hal :
Kontrak untuk membuat atau mengalihkan hak atas real-estate.
Kontrak yang diatur didalam hukum keluarga.
Kontrak penjaminan.
Kontrak yang melibatkan kewenangan pengadilan.
CYBER LAW
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law. yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perseorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internal yang dimulai pada saat mulai “online” dan memasuki dunia cyber atau maya.
Jenis Kejahatan Cyber
Joy Computing
Joy Computing
Adalah pemakaian computer orang lain tanpa izin, Hali ini termasuk pencurian waktu oprasi computer.
Hacking
Adalah mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
The Trojan Horse
Manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Data Leakage
Adalah menyangkut bocornya data keluar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan.
Data Diding
Yaitu sesuatu perbuatan mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah mengubah input atau output data.
To Frustate Data Communication atau Diding
Yaitu penyia-nyiaan data komputer
Software Privacy
Yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.
Aspek Hukum terhadap Kejahatan Cyber
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa azas yang biasa digunakan, yaitu :
1. Azas Subjective Teritoriality
Azas yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan
tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan
dinegara lain.
Azas Objective Teritoriality
Azas yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi Negara yang bersangkutan.
Azas Nasionality
Azas yang menentukan bahwa nwgara memounyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Azas Protective Principle
Azas yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Azas Universality
Azas ini menentukan bahwa setiap Negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan.
Azas Protective Principle
Azas yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan Negara untuk melindungi kepentingan Negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya yang umumnya digunakan apabila korban adalah Negara atau pemerintah.